Senin, 26 November 2012

ETIKA UTILITARIANISME


PENDAHULUAN


Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan yang dihadapi oleh Bentham dan orang-orang sezamannya adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan yang punya dampak bagi kepentingan banyak orang, secara moral. Apa kriteria dan dasar objektif yang dapat dijadikan pegangan untuk menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan publik? Apa dasar moral yang dapat dijadikan pegangan untuk menerima suatu kebijakan publik sebagai lebih baik dari kebijaksanaan yang lain? Ini tidak mudah, karena setiap kebijaksanaan publik selalu mengandung kemungkinan diterima dan didukung oleh pihak atau kelompok tertenty sambil di tentang dan di kutuk oleh pihak atau kelompok lainnya. Apalagi kebijaksanaan publik dalam banyak hal sulit memenuhi secara memuaskan kepentingan semua orang terkait secara sama. Karena itu, masalah kriteria, termasuk yang paling minimal sekalipun, yang dapat dijadikan pegangan sekaligus pembenaran moral atas suatu kebijaksanaan publik menjadi sangat mendesak dan perlu.
Bentham lalu berusaha mencari dasar objektif yang dapat dijadikan pegangan sekaligus norma yang diterima umum dalam menentukan dan menilai suatu kebijaksanaan umum atau publik. Bentham lalu menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijaksanaan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna, atau sebaliknya, kerugian bagi orang-orang terkait. Dengan demikian, Bentham sebagaimana halnya semua filsuf yang menganut etika utilitarianisme sesudahnya, tidak menerima dan mendasarkan dirinya pada aturan moral tertentu. Mereka tidak mendasarkan penilaian mereka mengenai baik buruknya suatu kebijaksaan berdasarkan apakah kebijaksanaan atau tindakan itu sesuai atau tidak sesuai dengan nilai atau norma moral tertentu, melainkan pada akibat, pada konsekuensi atau pada tujuan yang ingin dicapai oleh kebijaksanaan atau tindakan itu.

PEMBAHASAN

1.        KRITERIA DAN PRISIP ETIKA UTILITARIANISME
Secara konkrit, dalam kerangka etika utilitarianisme kita dapat merumuskan tiga kriteria objektif yang dapat dijadikan dasar objektif sekaligus norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan. Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebujaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
           Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (dalam situasi tertentu lebih besar) dibandingkan dengan kebujaksaan atau tindakan alternatif lainnya. Atau kalau dipertimbangkan adalah soal akibat baik dan akibat buruk dari suatu kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu – ketika kerugian tidak bisa dihindari – dapat dikatakan bahwa yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif).
            Kriteria ketiga menyangkut pertanyaan mengenai manfaat terbesar untuk siapa. Untuk individu atau kelompok lain yang terkait, terpengaruh dan terkena kebijaksanaan atau tindakan yang akan diambil? Dalam menjawab pertantaan ini, etika utilitarianisme lalu mengajukan ktiteria ketiga berupa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jadi, suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat besar, melainkan mendatangkan manfaat terbesar bagi semua orang. Sebaliknya, kalau ternyata suatu kebijaksanaan atau tindakan tidak bisa mengelak dari kerugian, mala kebijaksanaan atau tindakan itu dinilai baik kalau membawa kerugian yang sekecil mungkin bagi sedikit orang.
            Dengan demikian, kriteria yang sekaligus menjadi pegangan objektif etika utilitarianisme adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dengan kata lain, suatu kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarianisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang kecil bagi sedikit orang.

2.        NILAI POSITIF ETIKA UTILITARIANISME
Etika utilitarianisme memiliki daya tarik tersendiri yang melebihi daya tarik etika deontologis. Yang paling mencolok, etika utilitarianisme tidak memaksakan ssesuatu yang asing kepada kita. Etika ini justru mensistematisasikan dan memformulasikan secara jelas apa yang menurut pada penganutnya dilakukan oleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa sesungguhnya dalam kehidupan kita, dimana kita selalu dihadapkan pada berbagai alternatif dan dilema moral, kita hampir selalu menggunakan pertimbangan diatas. Etika ini menggambarkan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh orang yang rasional dalam mengambil keputusan, khususnya keputusan moral, termasuk dalam bidang bisnis. Ia merumuskan prosedur dan pertimbangan yang banyak digunakan dalam mengambil sebuah keputusan, khususnya yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Secara lebih khusus, daya tarik ini terutama didasarkan pada tiga nilai positif dari etika ini. Ketiganya berkaitan dengan kriteria dan prinsip yang telah disebutkan. Nilai positif pertama adalah rasionalitasnya, maksudnya prinsip moral yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak bisa kita persoalkan keabsahannya. Justru sebaliknya, utilitarianisme memberi kriteria yang objektif mengapa suatu tindakan dianggap baik.
Kedua, utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan dan bertindak dengan hanya memberinya ketiga kriteria objektif dan rasional tadi. Tidak ada paksaan bahwa orang harus bertindak sesuai dengan cara tertentu yang mungkin tidak diketahuo alasannya mengapa demikian. Jadi, tindakan baik itu kita putuskan dan pilih sendiri berdasarkan kriteria yang rasional bukan sekedar mengikuti tradisi, norma, atau perintah terntentu.
Ketiga, unsur positif yang lain adalah universalitasnya, yaitu berbada dengan etika teleologi lainnya yang terutama menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri, etika utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang. Suatu tindakan dinilai baik secara moral bukan karena tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar bagi orang yang melakukan, melainkan karena tindakan itu mendatagkan manfaat terbesar bagi semua orang yang terkait, termasuk orang yang melakukan tindakan itu. Karena itu, utilitarianisme tidak bersifat egoistis. Semakin banyak orang yang terkena akibat baik suatu kebijaksanaan atau tindakan, semakin baik tindakan tersebut. Jadi, etika ini tidak mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan kepentingan pribadi atau berdasarkan akibat baiknya demi diri sendiri dan kelompok sendiri.

3.        UTILITARIANISME SEBAGAI PROSES DAN STANDAR PENILAIAN
Etika utilitarianisme dapat dipakai dalam dua wujud yang berbeda. Pertama, etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.
Dalam wujud yang pertama, etika utilitarianisme dipakai untuk perencanaan, untuk mengatur sasaran dan target yang hendak dicapat. Artinya, kriteria etika utilitarianisme menjadi dasar utama dalam penyusunan program atau perencanaan, khususnya dari suatu kegiatan yang menyangkut kepentingan banyak orang. Kriteria etika utilitarianisme lalu berfungsi juga sebagai kriteria seleksi bagi setiap alternatif yang bisa diambil. Artinya, semua alternatif yang ada lalu dipilih berdasarkan sejauh mana alternatif itu punya kemungkinan untuk mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
Kedua, etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga kriteria diatas benar-benar dipakai sebagai kriteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan memang baik atau tidak. Ketiganya menjadi standar mengenai baik atau tidaknya suatu tindakan. Dalam hal ini, prosedur atau metode dan kebijaksanaan lalu menjadi tidak penting. Yang paling pokok adalah menilai tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat atau konsekuensinya, yaitu sejauh mana ia mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang. Itu berarti, bisa saja pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk bertindak bukanlah pertimbangan utiliter. Juga bisa saja hasil tersebut bukanlah sasaran atau terget yang ingindicapai.
Ini berarti, pada wujud kedua, etika utilitarianisme sangat tepat untuk evaluasi kebijaksanaan atau proyek yang sudah dijalankan. Terlepas dari apapun pertimbangan yang dipakai dalam menjalankan kebijaksanaan atau proyek tertentu, kriteria etika utilitarianisme menjadi pegangan utama dalam mengevaluasi mengenai berhasil tidaknya, baik tidaknya, suatu kebijaksanaan atau program tertentu.

4.        ANALISA KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
Dalam bidang ekonomi, etika utilitarianisme punya relevansi yang kuat dan dapat ditemukan dalam beberapa teori ekonomi yang populer. Sebut saja misalnya prinsip optimalis dari Pareto, yang menilai baik buruknya suatu sistem ekonomi. Suatu sistem ekonomi akan dinilai lebih baik kalau dalam sistem itu paling kurang satu orang menjadi lebih baik keadaannya dan tidak ada orang yang menjadi lebih buruk keadaannya dibandingkan dengan sistem lainnya. Berdasarkan prinsip ini, pasar misalnya dianggap paling baik karena memungkinkan konsumen memperoleh keuntungan secara maksimal. Dengan kata lain, suatu sistem dinilai lebih baik karena mendatangkan manfaat lebih besar dibandingkan dengan sistem alternatif lainnya.
Dalam ekonomi, etika utilitarianisme juga relevan dalam konsep efisiensi ekonimi. Prinsip efisiensi menekankan agar dengan menggunakan sumber daya sekecil mungkin dapat dihasilkan produk sebesar-besarnya. Dengan menggunakan sumber daya secara hemat harus bisa dicapai hasil yang maksimal. Karena itu, semua perangkat ekonomi harus dikerahkan sedemikian rupa untuk bisa mencapat hasil terbesar dengan menggunakan sumber daya sekecil mungkin. Ini prinsip dasar etika utilitarianisme.
            Dalam bidang bisnis, etika utilitarianisme juga mempunyai relevansi yang sangat kuat. Secara khusus etika ini diterapkan, secara sadar atau tidak, dalam apa yang dikenal dalam perusahaan sebagai the cost and benefit analysis. Yang intinya berarti etika ini pun digunakan dalam perencanaan dan evaluasi kegiatan bisnis atau perusahaan, dalam segala aspek.
     Langkah konkrit yang perlu dilakukan dalam membuat sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan dan mempertimbangkan alternatif kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sebanyak-banyaknya. Semua alternatif kebijaksanaan dan kegiatan itu terutama dipertimbangkan dan dinilai dalam kaitan dengan manfaat bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan atau paling kurang, alternatif yang tidak merugikan semua kelompok yang terkait dengan kepentingan tersebut.

5.        KELEMAHAN ETIKA UTILITARIANISME
Dibawah ini menyinggung beberapa kelemahan etika utilitarianisme, tanpa bermaksud melangkah lebih jauh ke dalam pendekatan fisiologis mengenai kelemahan-kelemahan tersebut.
Pertama, manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan malah menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena, manfaat bagi manusia berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Sebuah tindakan bisnis bisa sangat menguntungkan dan bermanfaat bagi sekelompok orang, tetapi bisa sangat merugikan bagi kelompok lain. Masuknya industri ke daerah pedesaan bisa sangat menguntungkan bagi sebagian penduduk desa, tetapi bahi yang lain justru merugikan karena hilangnya udara bersih dan ketenangan di desa. Mengimpor buah-buahan luar negeri bisa sangat menguntungkan dan bermanfaat bagi konsumen di daerah perkotaan tetapi tindakan yang sama bisa sangat merugikan petani lokal. Maka, suhubungan itu terjadi kesulitan, siapa yang memutuskan kepentingan siapa lebih penting daripada kepentingan orang lain. Siapa yang memutuskan manfaat yang diperoleh kelompok tertentu lebih penting daripada manfaat yang diperoleh kelompok lain?
Kedua, persoalan klasik yang lebih filosofis adalah bahwa etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri, dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya. Padahal, sangat mungkin terjadi suatu tindakan pada dasarnya tidak baik, tetapi ternyata mendatangkan keuntungan atau manfaat.
Ketiga, dalam kaitan dengan itu, etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius kemauan atau motivasi baik seseorang. Akibatnya, kendati seseorang mempunya motivasi yang baik dalam melakukan tindakan tertentu, tetapi ternyata membawa kerugian yang besar bagi banyak orang, tindakan itu tetap dinilai tidak baik dan tidak etis. Padahal, dalam banyak kasus, sering kita tidak bisa meramalkan dan menduga secara persis konsekuensi atau akibat dari suatu tindakan. Sangat mungkin terjadi bahwa akibar yang merugikan dari suatu tindakan tidak dilihat sebelumnya dan baru diketahui lama sesudahnya.
Keempat, variabel yang dinilai tidak semuanya bisa dikuantifikasi. Karena itu, sulit mengukur dan membandingkan keuntungan dan kerugian hanya berdasarkan variabel yang ada. Secara khusus sulit untuk menilai dan membandingkan variabel moral yang tidak bisa dikuantifikasi. Polusi udara, hilangnya air bersih, kenyamanan dan keselamatan kerja, kenyamanan produk, dan seterusnya, termasuk nyawa manusia, tidak bisa dikuantifikasi dan sulit bisa dipakai dalam menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan manfaat-manfaat ini.
Kelima, senadainya ketiga kriteria dari utilitarianisme sangat bertentangan, ada kesulitan cukup besar untuk menentukan prioritas diantara ketiganya.
Keenam, kelemahan paling pokok dari etika utilitarianisme adalah bahwa utilitarianisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas. Jadi, kendati suatu tindakan merugikan bahkan melanggar hak dan kepentingan kelompok kecil tertentu, tapi menguntungkan sebagian besar orang yang terkait, tindakan itu tetap dinilai baik dan etis. Artinya, etika utilitarianisme membenarkan penindasan dan ketidakadilan demi manfaat yang diperoleh sebagian besar orang. Dengan hanya mendasarkan diri pada manfaat keseluruhan, etika utilitarianisme membenarkan suatu tindakan, tanpa menghiraukan kenyataan bahwa tindakan yang sama ternyata merugikan segelintir orang tertentu. Jadi, suatu keijaksanaan bisnis akan dinilai baik dan etis kalau menguntungkan.


PENUTUP

            Tentu saja diharapkan agar kebijaksanaan atau tindakan bisnis apapun dari perusahaan manapun akan bermanfaat bagi semua pihak terkait yang berkepentingan, terutama dalam jangka panjang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar