Senin, 26 November 2012

UNSUR-UNSUR DALAM PENILAIAN ETIKA

Terdapat 4 (empat) unsur yang harus diperhatikan dalam penilaian etis tidaknya suatu iklan, yaitu: maksud si pengiklan, isi iklan, keadaan publik yang dituju, dan kebiasaan periklanan.

a.        Maksud si pengiklan
Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya nilai moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika si pengiklan tau bahwa produk yang diiklankan merugikan konsumen dengan sengaja ia menjelekkan produk dari pesaing, iklan menjadi tidak etis.

b.        Isi Iklan
Menuru isinya iklan harus baik dan tidak mngandung unsur yang menyesatkan. Iklan tidak menjadi etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun, kita juga tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangaka promosi. Karena itu isinya tidak perlu selengkap dan seobjektif seperti laporan dan instansi netral.

c.         Keadaan Publik yang Tertuju
Keganasan periklanan juga harus diimbangi dengan sikap kritis publik. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang bersahaja yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju.

d.        Kebiasaan di Bidang Periklanan
Periklanan selalu dipraktekan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja, bila beberapa iklan lebih mudah diterima daripada dimana praktek periklanan baru dimulai pada skala besar. Dalam refleksi etika tentang periklanan rupanya tidak mungkin dihindarkan suatu nada relativistis.



Sumber

KONSEP DASAR ETIKA PERIKLANAN


1.        Fungsi Periklanan

Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasar, antara penjual dan calon pembeli. Dalam proses komunikasi iklan menyampaikan sebuah ‘pesan’. Dengan demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberi informasi. Tujuan terpenting adalah memperkenalkan produk/jasa. Fungsi iklan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu berfungsi memberi informasi, dan membentuk opini (pendapat umum).

a.         Iklan berfungsi sebagai pemberi informasi

Pada fungsi ini iklan merupakan media untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat tentang produk yang akan atau sedang ditawarkan di pasar. Pada fungsi ini iklan membeberkan dan menggambarkan seluruh kenyataan serinci mungkin tentang suatu produk. Tujuannya agar calon konsumendapat mengetahui dengan baik produk itu, sehingga akirnya memutuskan untuk membeli produk tersebut.

b.         Iklan berfungsi sebagai pembentuk opini (pendapat) umum
Pada fungsi ini iklan mirip dengan fungsi propaganda politik yang berupayamempengaruhi massa pemilih. Dengan kata lain,iklan berfungsi menarik danmempengaruhi calon konsumen untk membeli prodsuk yang diiklankan. Caranyadengan menanpilan model iklan yang persuasif, manipulatif, tendensus denganmaksud menggiring konsumen untuk membeli produk. Secara etis, iklanmanipulatif jelas dilarang, karena memanipulasi manusia dan merugikan pihak lain.

2.    Pengertian Etika Periklanan
Menurut Dewan Periklanan Indonesia (DPI), etika adalah sekumpulan norma perilaku yang dibuat oleh sekelompok tertentu yang harus di taati oleh individu atau kelompok individu yang menjadi anggotanya atas dasar moralitas baik-buruk atau benar-salah untuk hal tertentu.
Etika adalah lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi dimana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok media sebagai subjek etis yang ada. Pilihan-pilihan etis juga harus berdasarkan kaidah norma atau nilai yang menjadi prinsip utama tindakan etis.

Etika memiliki beberapa sifat dasar yang berlaku universal, yaitu:
a.       Punya nilai moral (baik, buruk, benar, salah)
b.      Punya nilai relatif (melindi kepentingan orang yang lebih banyak)
c.       Bersifat relatif (sesuatu yang dianggap baik/benar pada kelompok/era tertentu belum tentu baik/benar pada kelompok/era lainnya)
d.      Buatan manusia (dibuat oleh suatu kebutuhan untuk mengatur perilakunsesama demi kepentingan masyarakat banyak)
e.       Melestarikan tujuan bersama
f.       Memiliki moral enforcement (yang tidak mengikuti/menyimpang akandikoreksi bersama dan jika hasilnya negatif maka pelaku akan terkena public expose)

sSedangkan etika periklanan adalah ukuran kewajaran nilai dan kejujuran didalam sebuah iklan. Menurut Persatuan Perusahaan Periklanan Indoneasia (P3I), etika periklanan adalah seperangkat norma dan padan yang mesti dikuti oleh para politis periklanan dalam mengemas dan menyebarluaskan pesan iklan kepada khalayak ramai baik melalui mediamassa maupn media ruang. Menurut EPI (Etika Pariwara Indonesia), etika periklanan adalah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihornati, ditaai, dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembangannya.






ETIKA UTILITARIANISME


PENDAHULUAN


Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan yang dihadapi oleh Bentham dan orang-orang sezamannya adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan yang punya dampak bagi kepentingan banyak orang, secara moral. Apa kriteria dan dasar objektif yang dapat dijadikan pegangan untuk menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan publik? Apa dasar moral yang dapat dijadikan pegangan untuk menerima suatu kebijakan publik sebagai lebih baik dari kebijaksanaan yang lain? Ini tidak mudah, karena setiap kebijaksanaan publik selalu mengandung kemungkinan diterima dan didukung oleh pihak atau kelompok tertenty sambil di tentang dan di kutuk oleh pihak atau kelompok lainnya. Apalagi kebijaksanaan publik dalam banyak hal sulit memenuhi secara memuaskan kepentingan semua orang terkait secara sama. Karena itu, masalah kriteria, termasuk yang paling minimal sekalipun, yang dapat dijadikan pegangan sekaligus pembenaran moral atas suatu kebijaksanaan publik menjadi sangat mendesak dan perlu.
Bentham lalu berusaha mencari dasar objektif yang dapat dijadikan pegangan sekaligus norma yang diterima umum dalam menentukan dan menilai suatu kebijaksanaan umum atau publik. Bentham lalu menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijaksanaan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna, atau sebaliknya, kerugian bagi orang-orang terkait. Dengan demikian, Bentham sebagaimana halnya semua filsuf yang menganut etika utilitarianisme sesudahnya, tidak menerima dan mendasarkan dirinya pada aturan moral tertentu. Mereka tidak mendasarkan penilaian mereka mengenai baik buruknya suatu kebijaksaan berdasarkan apakah kebijaksanaan atau tindakan itu sesuai atau tidak sesuai dengan nilai atau norma moral tertentu, melainkan pada akibat, pada konsekuensi atau pada tujuan yang ingin dicapai oleh kebijaksanaan atau tindakan itu.

PEMBAHASAN

1.        KRITERIA DAN PRISIP ETIKA UTILITARIANISME
Secara konkrit, dalam kerangka etika utilitarianisme kita dapat merumuskan tiga kriteria objektif yang dapat dijadikan dasar objektif sekaligus norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan. Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebujaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
           Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (dalam situasi tertentu lebih besar) dibandingkan dengan kebujaksaan atau tindakan alternatif lainnya. Atau kalau dipertimbangkan adalah soal akibat baik dan akibat buruk dari suatu kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu – ketika kerugian tidak bisa dihindari – dapat dikatakan bahwa yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif).
            Kriteria ketiga menyangkut pertanyaan mengenai manfaat terbesar untuk siapa. Untuk individu atau kelompok lain yang terkait, terpengaruh dan terkena kebijaksanaan atau tindakan yang akan diambil? Dalam menjawab pertantaan ini, etika utilitarianisme lalu mengajukan ktiteria ketiga berupa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jadi, suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat besar, melainkan mendatangkan manfaat terbesar bagi semua orang. Sebaliknya, kalau ternyata suatu kebijaksanaan atau tindakan tidak bisa mengelak dari kerugian, mala kebijaksanaan atau tindakan itu dinilai baik kalau membawa kerugian yang sekecil mungkin bagi sedikit orang.
            Dengan demikian, kriteria yang sekaligus menjadi pegangan objektif etika utilitarianisme adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dengan kata lain, suatu kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarianisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang kecil bagi sedikit orang.

2.        NILAI POSITIF ETIKA UTILITARIANISME
Etika utilitarianisme memiliki daya tarik tersendiri yang melebihi daya tarik etika deontologis. Yang paling mencolok, etika utilitarianisme tidak memaksakan ssesuatu yang asing kepada kita. Etika ini justru mensistematisasikan dan memformulasikan secara jelas apa yang menurut pada penganutnya dilakukan oleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa sesungguhnya dalam kehidupan kita, dimana kita selalu dihadapkan pada berbagai alternatif dan dilema moral, kita hampir selalu menggunakan pertimbangan diatas. Etika ini menggambarkan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh orang yang rasional dalam mengambil keputusan, khususnya keputusan moral, termasuk dalam bidang bisnis. Ia merumuskan prosedur dan pertimbangan yang banyak digunakan dalam mengambil sebuah keputusan, khususnya yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Secara lebih khusus, daya tarik ini terutama didasarkan pada tiga nilai positif dari etika ini. Ketiganya berkaitan dengan kriteria dan prinsip yang telah disebutkan. Nilai positif pertama adalah rasionalitasnya, maksudnya prinsip moral yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak bisa kita persoalkan keabsahannya. Justru sebaliknya, utilitarianisme memberi kriteria yang objektif mengapa suatu tindakan dianggap baik.
Kedua, utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan dan bertindak dengan hanya memberinya ketiga kriteria objektif dan rasional tadi. Tidak ada paksaan bahwa orang harus bertindak sesuai dengan cara tertentu yang mungkin tidak diketahuo alasannya mengapa demikian. Jadi, tindakan baik itu kita putuskan dan pilih sendiri berdasarkan kriteria yang rasional bukan sekedar mengikuti tradisi, norma, atau perintah terntentu.
Ketiga, unsur positif yang lain adalah universalitasnya, yaitu berbada dengan etika teleologi lainnya yang terutama menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri, etika utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang. Suatu tindakan dinilai baik secara moral bukan karena tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar bagi orang yang melakukan, melainkan karena tindakan itu mendatagkan manfaat terbesar bagi semua orang yang terkait, termasuk orang yang melakukan tindakan itu. Karena itu, utilitarianisme tidak bersifat egoistis. Semakin banyak orang yang terkena akibat baik suatu kebijaksanaan atau tindakan, semakin baik tindakan tersebut. Jadi, etika ini tidak mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan kepentingan pribadi atau berdasarkan akibat baiknya demi diri sendiri dan kelompok sendiri.

3.        UTILITARIANISME SEBAGAI PROSES DAN STANDAR PENILAIAN
Etika utilitarianisme dapat dipakai dalam dua wujud yang berbeda. Pertama, etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.
Dalam wujud yang pertama, etika utilitarianisme dipakai untuk perencanaan, untuk mengatur sasaran dan target yang hendak dicapat. Artinya, kriteria etika utilitarianisme menjadi dasar utama dalam penyusunan program atau perencanaan, khususnya dari suatu kegiatan yang menyangkut kepentingan banyak orang. Kriteria etika utilitarianisme lalu berfungsi juga sebagai kriteria seleksi bagi setiap alternatif yang bisa diambil. Artinya, semua alternatif yang ada lalu dipilih berdasarkan sejauh mana alternatif itu punya kemungkinan untuk mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
Kedua, etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga kriteria diatas benar-benar dipakai sebagai kriteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan memang baik atau tidak. Ketiganya menjadi standar mengenai baik atau tidaknya suatu tindakan. Dalam hal ini, prosedur atau metode dan kebijaksanaan lalu menjadi tidak penting. Yang paling pokok adalah menilai tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat atau konsekuensinya, yaitu sejauh mana ia mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang. Itu berarti, bisa saja pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk bertindak bukanlah pertimbangan utiliter. Juga bisa saja hasil tersebut bukanlah sasaran atau terget yang ingindicapai.
Ini berarti, pada wujud kedua, etika utilitarianisme sangat tepat untuk evaluasi kebijaksanaan atau proyek yang sudah dijalankan. Terlepas dari apapun pertimbangan yang dipakai dalam menjalankan kebijaksanaan atau proyek tertentu, kriteria etika utilitarianisme menjadi pegangan utama dalam mengevaluasi mengenai berhasil tidaknya, baik tidaknya, suatu kebijaksanaan atau program tertentu.

4.        ANALISA KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
Dalam bidang ekonomi, etika utilitarianisme punya relevansi yang kuat dan dapat ditemukan dalam beberapa teori ekonomi yang populer. Sebut saja misalnya prinsip optimalis dari Pareto, yang menilai baik buruknya suatu sistem ekonomi. Suatu sistem ekonomi akan dinilai lebih baik kalau dalam sistem itu paling kurang satu orang menjadi lebih baik keadaannya dan tidak ada orang yang menjadi lebih buruk keadaannya dibandingkan dengan sistem lainnya. Berdasarkan prinsip ini, pasar misalnya dianggap paling baik karena memungkinkan konsumen memperoleh keuntungan secara maksimal. Dengan kata lain, suatu sistem dinilai lebih baik karena mendatangkan manfaat lebih besar dibandingkan dengan sistem alternatif lainnya.
Dalam ekonomi, etika utilitarianisme juga relevan dalam konsep efisiensi ekonimi. Prinsip efisiensi menekankan agar dengan menggunakan sumber daya sekecil mungkin dapat dihasilkan produk sebesar-besarnya. Dengan menggunakan sumber daya secara hemat harus bisa dicapai hasil yang maksimal. Karena itu, semua perangkat ekonomi harus dikerahkan sedemikian rupa untuk bisa mencapat hasil terbesar dengan menggunakan sumber daya sekecil mungkin. Ini prinsip dasar etika utilitarianisme.
            Dalam bidang bisnis, etika utilitarianisme juga mempunyai relevansi yang sangat kuat. Secara khusus etika ini diterapkan, secara sadar atau tidak, dalam apa yang dikenal dalam perusahaan sebagai the cost and benefit analysis. Yang intinya berarti etika ini pun digunakan dalam perencanaan dan evaluasi kegiatan bisnis atau perusahaan, dalam segala aspek.
     Langkah konkrit yang perlu dilakukan dalam membuat sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan dan mempertimbangkan alternatif kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sebanyak-banyaknya. Semua alternatif kebijaksanaan dan kegiatan itu terutama dipertimbangkan dan dinilai dalam kaitan dengan manfaat bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan atau paling kurang, alternatif yang tidak merugikan semua kelompok yang terkait dengan kepentingan tersebut.

5.        KELEMAHAN ETIKA UTILITARIANISME
Dibawah ini menyinggung beberapa kelemahan etika utilitarianisme, tanpa bermaksud melangkah lebih jauh ke dalam pendekatan fisiologis mengenai kelemahan-kelemahan tersebut.
Pertama, manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan malah menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena, manfaat bagi manusia berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Sebuah tindakan bisnis bisa sangat menguntungkan dan bermanfaat bagi sekelompok orang, tetapi bisa sangat merugikan bagi kelompok lain. Masuknya industri ke daerah pedesaan bisa sangat menguntungkan bagi sebagian penduduk desa, tetapi bahi yang lain justru merugikan karena hilangnya udara bersih dan ketenangan di desa. Mengimpor buah-buahan luar negeri bisa sangat menguntungkan dan bermanfaat bagi konsumen di daerah perkotaan tetapi tindakan yang sama bisa sangat merugikan petani lokal. Maka, suhubungan itu terjadi kesulitan, siapa yang memutuskan kepentingan siapa lebih penting daripada kepentingan orang lain. Siapa yang memutuskan manfaat yang diperoleh kelompok tertentu lebih penting daripada manfaat yang diperoleh kelompok lain?
Kedua, persoalan klasik yang lebih filosofis adalah bahwa etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri, dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya. Padahal, sangat mungkin terjadi suatu tindakan pada dasarnya tidak baik, tetapi ternyata mendatangkan keuntungan atau manfaat.
Ketiga, dalam kaitan dengan itu, etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius kemauan atau motivasi baik seseorang. Akibatnya, kendati seseorang mempunya motivasi yang baik dalam melakukan tindakan tertentu, tetapi ternyata membawa kerugian yang besar bagi banyak orang, tindakan itu tetap dinilai tidak baik dan tidak etis. Padahal, dalam banyak kasus, sering kita tidak bisa meramalkan dan menduga secara persis konsekuensi atau akibat dari suatu tindakan. Sangat mungkin terjadi bahwa akibar yang merugikan dari suatu tindakan tidak dilihat sebelumnya dan baru diketahui lama sesudahnya.
Keempat, variabel yang dinilai tidak semuanya bisa dikuantifikasi. Karena itu, sulit mengukur dan membandingkan keuntungan dan kerugian hanya berdasarkan variabel yang ada. Secara khusus sulit untuk menilai dan membandingkan variabel moral yang tidak bisa dikuantifikasi. Polusi udara, hilangnya air bersih, kenyamanan dan keselamatan kerja, kenyamanan produk, dan seterusnya, termasuk nyawa manusia, tidak bisa dikuantifikasi dan sulit bisa dipakai dalam menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan manfaat-manfaat ini.
Kelima, senadainya ketiga kriteria dari utilitarianisme sangat bertentangan, ada kesulitan cukup besar untuk menentukan prioritas diantara ketiganya.
Keenam, kelemahan paling pokok dari etika utilitarianisme adalah bahwa utilitarianisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas. Jadi, kendati suatu tindakan merugikan bahkan melanggar hak dan kepentingan kelompok kecil tertentu, tapi menguntungkan sebagian besar orang yang terkait, tindakan itu tetap dinilai baik dan etis. Artinya, etika utilitarianisme membenarkan penindasan dan ketidakadilan demi manfaat yang diperoleh sebagian besar orang. Dengan hanya mendasarkan diri pada manfaat keseluruhan, etika utilitarianisme membenarkan suatu tindakan, tanpa menghiraukan kenyataan bahwa tindakan yang sama ternyata merugikan segelintir orang tertentu. Jadi, suatu keijaksanaan bisnis akan dinilai baik dan etis kalau menguntungkan.


PENUTUP

            Tentu saja diharapkan agar kebijaksanaan atau tindakan bisnis apapun dari perusahaan manapun akan bermanfaat bagi semua pihak terkait yang berkepentingan, terutama dalam jangka panjang.




Kamis, 15 November 2012

BAB 10 - IKLAN DAN DIMENSI ETISNYA



BAB I PENDAHULUAN

Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang bermaksud untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen, dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen. Sasaran akhir seluruh kegiatan bisnis adalah agar barang yang telah dihasilkan bisa dijual kepada konsumen. Secara positif iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan barang dapat dijual kepada konsumen.
Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan kehilangan nilai-nilai informatifnya dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang dan jasa demi profit yang semakin tinggi dari para produsen barang dan jasa maupun penyedia jasa iklan.
Menurut Dewan Periklanan Indonesi (DPI), etika adalah sekumpulan norma, aza, sistem perilaku yang dibuat oleh sekelompok tertentu yang harus ditaati oleh individu/kelompok individu yang menjadi anggotanya atas dasar moralitas baik-buruk atau benar-salah untuk hal/aktivitas/budaya tertentu. Etika adalah lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi dimana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok media sebagai subjek etis yang ada. Pilihan-pilihan etis juga harus berdasarkan kaidah norma atau nilai yang menjadi prinsip utama tindakan etis.
Sedangkan etika periklanan adalah ukuran kewajaran nilai dan kejujuran dalam sebuah iklan. Menurut Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), etika periklanan adalah seperangkat norma yang padan dan mesti diikuti oleh para politis periklanan dalam mengemas dan menyebarluaskan pesan iklan kepada khalayak ramai, baik melalui media massa maupun media ruang. Menurut Etika Pariwara Indonesia (EPI), etika periklanan adalah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihormati, ditaati, dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembangnya.
Untuk melihat persoalan iklan dari segi etika bisnis, kami ingin menyoroti empat hal penting, yaitu fungsi iklan, beberapa persoalan etis periklanan, makna etis menipu dalam iklan, dan tentang kebebasan konsumen.


BAB II PEMBAHASAN

1.      Fungsi Iklan Sebagai Pemberi Informasi dan Pembentuk Opini
A.      Fungsi Periklanan
Iklan dilukiskan sebagai komuniskasi antara produsen dan pasar, antara penjual dan calon pembeli. Dalam proses komunikasi iklan menyampaikan sebuah “pesan”. Dengan demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberi informasi. Tujuan terpenting adalah memperiklankan produk/jasa.
Fungsi iklan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu berfungsi memberi informasi dan membentuk opini (pendapat umum).

a.       Iklan berfungsi sebagai pemberi informasi
Pada fungsi ini, iklan merupakan media untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat tentang produk yang akan atau sedang ditawarkan di pasar. Pada fungsi ini, iklan memberikan dan menggambarkan seluruh kenyataan serinci mungkin tentang suatu produk. Tujuannya agar calon konsumen dapat mengetahui dengan baik produk itu, sehingga akhirnya memutuskan untuk membeli produk tersebut.

b.      Iklan berfungsi sebagai pembentuk opini (pendapat umum)
Pada fungsi ini, iklan mirip dengan fungsi propaganda politik yang berupaya mempengaruhi massa pemilih. Dengan kata lain, iklan berfungsi menarik dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli produk yang diiklankan. Caranya dengan menampilkan model iklan yang persuasif, manipulatif, tendensus dengan maksud menggiring konsumen untuk membeli produk. Secara etis, iklan manipulatif jelas dilarang, karena memanipulasi manusia dan merugikan pihak lain.

2.       Beberapa Persoalan Etis Periklanan
a.         Merongrong ekonomi dan kebebasan manusia.
b.         Menciptakan kebutuhan manusia dengan akibat manusia modern menjadi konsumtif.
c.         Membentuk dan menentukan identitas dan citra manusia modern.
d.        Merongrong rasa keadilan sosial masyarakat.
Dari persoalan diatas, beberapa prinsip yang kiranya perlu diperhatikan dalam iklan, sebagai berikut :
a.       Iklan tidak boleh menyampaikan informasi yang palsu dengan maksud memperdaya konsumen.
b.  Iklan wajib menyampaikan semua informasi tentang produk tertentu, khususnya menyangkut keamanan dan keselamatan manusia.
c.      Iklan tidak boleh mengarah pada pemaksaan khususnya secara kasar dan terang-terangan.
d.     Iklan tidak boleh mengarah pada tindakan yang bertentangan dengan moralitas.

3.       Makna Etis Menipu Dalam Iklan
Fungsi iklan pada akhirnya membentuk citra sebuah produk dan perusahaan di mata masyarakat. Citra ini terbentuk oleh kesesuaian antara kenyataan sebuah produk yang diiklankan dengan informasi yang disampaikan dalam iklan. Prinsip etika bisnis yang paling relevan dalam hal ini adalah nilai kejujuran. Dengan demikian, iklan yang membuat pernyataan salah atau tidak benar dengan maksud memperdaya konsumen adalah sebuah tipuan.

4.       Kebebasan Konsumen
Iklan merupakan suatu aspek pemasaran yang penting, sebab iklan menentukan hubungan antara produsen dengan konsumen. Secara konkrit, iklan menentukan pula hubungan penawaran dan permintaan antara produsen dan pembeli, yang pada gilirannya ikut pula menentukan harga barang yang dijual dalam pasar.
Kode etik periklanan tentu saja sangat diharapkan untuk membatasi pengaruh iklan ini. Akan tetapi, perumusan kode etik ini harus melibatkan berbagai pihak, yang antara lain: ahli etika, konsumen (lembaga konsumen), ahli hukum, pengusaha, pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat tertentu, tanpa harus merampas kemandirian profesi periklanan. Yang juga penting adalah bahwa profesi periklanan dan organisasi profesi periklanan perlu benar-benar mempunyai komitmen moral untuk mewujudkan iklan yang baik bagi masyarakat. Namun, jika ini tidak memadai, kita membutuhkan perangkat legal politis dalam bentuk aturan perundang-undangan tentang periklanan beserta sikap tegas tanpa kompromi dari pemerintah melalui departemen terkait untuk menegakkan dan menjamin iklan yang baik bagi masyarakat.


BAB III PENUTUP

Iklan memang tidak bisa dihapus dari kehidupan manusia. Bukan saja karena pemahan kita mengenai iklan dalam artinya yang luas sebagai segala kegiatan manusia dalam menginformasikan kepentingan-kepentingan tertentu kepada publik, tetapi juga bahwa iklan sejak semula tidak bersifat propagandis. Maka sebagai usaha untuk menghapus citra iklan yang sugestif dan propagandis bukan dengan menghapus iklan, tetapi dengan mengembalikan iklan pada misi yang sejati.
Salah satu tugas etikawan di bidang ini adalah mendidik masyarakat untuk selalu bersikap rasional. Kepemilikan atas sikap ini yang kemudian bisa diandalkan sebagai semacam senjata pamungkas berhadapan dengan iklan yang semata sugestif. Iklan pada akhirnya akan membunuh diri sendiri jika tetap beranggapan, bahwa konsumen merupakan pihak yang selalu bisa dibohongi. Sementara karena jasa para etikawan, masyarakat perlahan-lahan memupuk sikap rasional.