Pergolakan di Mesir Mengingatkan Lagi Makna Pelajaran Sejarah
Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah adalah judul pidato yang fenomenal dari Bung Karno. Dari judulnya pun sudah penuh makna, apalagi kalau melihat langsung beliau berbicara, pasti semua rakyat rela berpanas-panas terik berjam-jam melihatnya.
Apa sih pelajaran sejarah? Saya pernah sangat keki ketika ada daftar pelajaran ini di SMA. Ditambah lagi saat itu, antara tahun 1988-1991 ada yang namanya PMP dan PSPB yang isi pelajarannya mirip-mirip.
Ternyata melihat kejadian di Tunisia dan Mesir, yang bergolak baru terasa hal itu penting.
Terutama Mesir, mirip sekali dengan Indonesia saat demonstrasi reformasi. Kita pernah mengalami rejim orde baru yang berkuasa 30 tahunan, dan rejim itu otoriter, hampir menguasai semua sendi-sendi pembangunan, oposisi dikebiri, kekuasaan waktunya tidak dibatasi dan akhir dari semua itu adalah sama, krisis pangan dan moneter yang memicu’ chaos’.
Kalau saja Mubarak mau belajar dari Indonesia di Mei 1998, mungkin dia mau berhenti berkuasa beberapa tahun lalu saat di puncak-puncak kejayaannya, supaya menjadi kenangan yang manis bagi rakyatnya.
Tetapi kalau ternyata dia jatuh dengan menyedihkan saat ini juga, maka kata-kata bijak ‘jasmerah’ dari sang proklamator mengenai sasarannya.
Dan sekarang, sudah ada Mei 1998 yang maksud awalnya menjatuhkan sebuah rejim, tetapi kita tidak pernah tuntas melakukan perbaikan. Sisa rejim lama masih ada, hanya bak kutu loncat pindah partai, ganti nama partai, ganti visi-misi supaya enak di telinga, tetapi pola pikir dan filosofinya tetap cara-gaya yang aromanya sama saja. Seperti makanan, semua masih pengandalkan pewarna buatan, pengawet dan penyedap rasa instant, bukan racikan bumbu baru dari rempah-rempah alami. Bagaimana kita mau belajar dari sejarah 13 tahun yang lalu di Indonesia? Dan menghubungkannya juga dengan fakta saat ini di Mesir yang mirip sekali kondisi kita Mei 1998. Haruskah hanya guru-guru sejarah yang membahasnya?
Sepertinya tidak hanya guru sejarah, kita semua harus mempelajarinya. Belajarlah dari Mesir hari ini. Sepuluh tahun batas sebuah rejim, ya 10 tahunlah. Mau mempertahankannya mati-matian dengan ditukang-tukangi, pasti bisa. Tetapi kalau pada akhirnya hanya hujatan dan caci maki didapat di akhir kekuasaan, alangkah sakitnya.
Berhentilah makan sebelum kenyang. Mungkin itu di kekuasaan juga sama, berhentilah berkuasa sebelum ‘kenyang’.Entah kenyang dari apa. Kami-kami yang tidak punya bakat berkuasa ini masih bingung memikirkan apa sih arti lapar bagi semua yang ingin berkuasa. Yang pasti bukan cuma gaji yang 19, 40 dan 63 juta.
Apa sih pelajaran sejarah? Saya pernah sangat keki ketika ada daftar pelajaran ini di SMA. Ditambah lagi saat itu, antara tahun 1988-1991 ada yang namanya PMP dan PSPB yang isi pelajarannya mirip-mirip.
Ternyata melihat kejadian di Tunisia dan Mesir, yang bergolak baru terasa hal itu penting.
Terutama Mesir, mirip sekali dengan Indonesia saat demonstrasi reformasi. Kita pernah mengalami rejim orde baru yang berkuasa 30 tahunan, dan rejim itu otoriter, hampir menguasai semua sendi-sendi pembangunan, oposisi dikebiri, kekuasaan waktunya tidak dibatasi dan akhir dari semua itu adalah sama, krisis pangan dan moneter yang memicu’ chaos’.
Kalau saja Mubarak mau belajar dari Indonesia di Mei 1998, mungkin dia mau berhenti berkuasa beberapa tahun lalu saat di puncak-puncak kejayaannya, supaya menjadi kenangan yang manis bagi rakyatnya.
Tetapi kalau ternyata dia jatuh dengan menyedihkan saat ini juga, maka kata-kata bijak ‘jasmerah’ dari sang proklamator mengenai sasarannya.
Dan sekarang, sudah ada Mei 1998 yang maksud awalnya menjatuhkan sebuah rejim, tetapi kita tidak pernah tuntas melakukan perbaikan. Sisa rejim lama masih ada, hanya bak kutu loncat pindah partai, ganti nama partai, ganti visi-misi supaya enak di telinga, tetapi pola pikir dan filosofinya tetap cara-gaya yang aromanya sama saja. Seperti makanan, semua masih pengandalkan pewarna buatan, pengawet dan penyedap rasa instant, bukan racikan bumbu baru dari rempah-rempah alami. Bagaimana kita mau belajar dari sejarah 13 tahun yang lalu di Indonesia? Dan menghubungkannya juga dengan fakta saat ini di Mesir yang mirip sekali kondisi kita Mei 1998. Haruskah hanya guru-guru sejarah yang membahasnya?
Sepertinya tidak hanya guru sejarah, kita semua harus mempelajarinya. Belajarlah dari Mesir hari ini. Sepuluh tahun batas sebuah rejim, ya 10 tahunlah. Mau mempertahankannya mati-matian dengan ditukang-tukangi, pasti bisa. Tetapi kalau pada akhirnya hanya hujatan dan caci maki didapat di akhir kekuasaan, alangkah sakitnya.
Berhentilah makan sebelum kenyang. Mungkin itu di kekuasaan juga sama, berhentilah berkuasa sebelum ‘kenyang’.Entah kenyang dari apa. Kami-kami yang tidak punya bakat berkuasa ini masih bingung memikirkan apa sih arti lapar bagi semua yang ingin berkuasa. Yang pasti bukan cuma gaji yang 19, 40 dan 63 juta.
Konflik Pergolakan Mesir yang Berdarah Bisa Sebabkan Picu Perang Dunia III Akibat Krisis Perdagangan
Bahaya Konflik Mesir Berdarah 2011 Penyebab Perang Dunia III Akibat Krisis Perdagangan Jadi Pemicu. Ekonomi internasional akan bergejolak karena Mesir berada di kawasan strategis perdagangan dunia. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Maarif menegaskan bahaya konflik di Mesir dapat memicu pecahnya Perang Dunia Ketiga III. Lihat Foto dan Video Demontrasi Anti Pemerintah di Yaman Tuntut Presiden Saleh Mundur. dan Video Youtube Penampakan UFO Yerusalem 2011 Rekaman Video UFO Kubah Batu (Dome of The Rock) 2 Sudut Pandang Berbeda.dan Video Bentrok Mesir Berdarah 2011 Foto Tragedi Demo Mesir Unjuk Rasa Massa Anti Pemerintah Hosni Mubarak. dan Foto Penampakan Ular Kobra Raksasa Inggris 2011 Fenomena Kumpulan Burung Terbang Mirip Ular Raksasa.
Sebab, sebelum terjadi pertikaian politik yang menjurus perang terbuka antara kelompok yang pro Presiden Mesir Hosni Mubarak dan kelompok yang menginginkan Mubarak turun dari kursi presiden, telah terlebih dahulu terjadi konflik politik seperti di Tunisia.
Sementara itu, di Yaman dan Yordania juga sudah mulai tampak adanya gerakan. Namun, Arab Saudi belum ada gejolak politik karena kekayaan dikuasai sekitar 5-6 ribu pangeran dan rakyatnya dimakmurkan, sehingga perlawanan terhadap pemerintah yang berkuasa sangat kecil.
"Untuk Turki sangat kecil kemungkinan ada perlawanan terhadap pemerintah yang berkuasa, karena Turki lebih moderen," kata Syafi'i di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu, 5 Februari 2011.
Sebab, sebelum terjadi pertikaian politik yang menjurus perang terbuka antara kelompok yang pro Presiden Mesir Hosni Mubarak dan kelompok yang menginginkan Mubarak turun dari kursi presiden, telah terlebih dahulu terjadi konflik politik seperti di Tunisia.
Sementara itu, di Yaman dan Yordania juga sudah mulai tampak adanya gerakan. Namun, Arab Saudi belum ada gejolak politik karena kekayaan dikuasai sekitar 5-6 ribu pangeran dan rakyatnya dimakmurkan, sehingga perlawanan terhadap pemerintah yang berkuasa sangat kecil.
"Untuk Turki sangat kecil kemungkinan ada perlawanan terhadap pemerintah yang berkuasa, karena Turki lebih moderen," kata Syafi'i di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu, 5 Februari 2011.
Kemungkinan bahaya konflik Mesir akan memicu Perang Dunia III karena negara itu mempunyai berbagai keuntungan di tingkat internasional. Mulai dari letak negara yang strategis hingga sebagai kawasan yang dilalui perdagangan dunia, termasuk minyak dan energi. Akibatnya, jika konflik di sana tidak segera selesai akan dapat memicu perang.
Terkait dengan desakan agar Presiden Hosni Mubarak mundur, menurut Syafi'i, tanpa diminta mundur pun nantinya Mubarak akan mundur dengan sendirinya. "Tanpa diminta turun pun, Hosni Mubarak akan turun karena tidak mungkin akan bertahan," kata dia.
Syafi'i Maarif menyatakan, untuk menyelesaikan konflik tidak dapat dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Apalagi, bila Indonesia bertindak sebagai mediator untuk menyelesaikan konflik di Mesir, meski berpenduduk dengan umat muslim terbesar di dunia.
"Waktu Presiden AS Bush menginvasi Afghanistan, Indonesia tidak bisa berbuat banyak. Bagi umat Islam, yang bisa dilakukan adalah bagaimana umat Islam itu selalu sadar," tutur Syafi'i. vivanews.com
Terkait dengan desakan agar Presiden Hosni Mubarak mundur, menurut Syafi'i, tanpa diminta mundur pun nantinya Mubarak akan mundur dengan sendirinya. "Tanpa diminta turun pun, Hosni Mubarak akan turun karena tidak mungkin akan bertahan," kata dia.
Syafi'i Maarif menyatakan, untuk menyelesaikan konflik tidak dapat dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Apalagi, bila Indonesia bertindak sebagai mediator untuk menyelesaikan konflik di Mesir, meski berpenduduk dengan umat muslim terbesar di dunia.
"Waktu Presiden AS Bush menginvasi Afghanistan, Indonesia tidak bisa berbuat banyak. Bagi umat Islam, yang bisa dilakukan adalah bagaimana umat Islam itu selalu sadar," tutur Syafi'i. vivanews.com
Pergolakan Mesir Melebihi Kerusuhan Mei 1998
Bila kerusuhan ini terus berkepanjangan, maka situasi negara akan sangat merugikan. "Saya melihat sekarang ini sudah di ambang masa yang namanya revolusi, Mesir sudah menginginkan Husni Mubarak tumbang, setelah 30 tahun berkuasa," kata pengamat timur tengah dari Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Fahmi Salsabila, kepada INILAH.COM, Senin (31/1/2011).
Berakhirnya kerusuhan di Mesir, kata Fahmi, sangat ditentukan oleh Mubarak. "Bola ada di tangan Mubarak sendiri, apakah ingin turun atau bertahan. Tapi kalau dia mempertahankan kekuasaannya, kerusuhan massa akan terjadi yang lebih besar," prediksi Fahmi.
Lebih jauh Fahmi mengatakan, kerusuhan yang terjadi di negeri piramida ini, telah melebihi kerusuhan yang pernah terjadi di Indonesia saat menggulingkan Presiden RI Soeharto, pada Mei 1998.
"Ini lebih kacau dari zaman Pak Harto tahun 1998, karena rakyat sudah berani turun, sekarang saja hampir 100 lebih warga tewas, dari aparat juga sama, museum juga sudah dijarah. Yang dikhawatrikan masalah budaya, ekopnomi, dan efek yang juga akan ke negara lain," paparnya.
Berakhirnya kerusuhan di Mesir, kata Fahmi, sangat ditentukan oleh Mubarak. "Bola ada di tangan Mubarak sendiri, apakah ingin turun atau bertahan. Tapi kalau dia mempertahankan kekuasaannya, kerusuhan massa akan terjadi yang lebih besar," prediksi Fahmi.
Lebih jauh Fahmi mengatakan, kerusuhan yang terjadi di negeri piramida ini, telah melebihi kerusuhan yang pernah terjadi di Indonesia saat menggulingkan Presiden RI Soeharto, pada Mei 1998.
"Ini lebih kacau dari zaman Pak Harto tahun 1998, karena rakyat sudah berani turun, sekarang saja hampir 100 lebih warga tewas, dari aparat juga sama, museum juga sudah dijarah. Yang dikhawatrikan masalah budaya, ekopnomi, dan efek yang juga akan ke negara lain," paparnya.
PDIP Nilai Pergolakan Mesir Bisa Terjadi di Indonesia
RMOL. Pergolakan politik di negara-negara Timur Tengah, khususnya di Mesir, Yaman, dan Tunisia, dalam beberapa minggu terakhir ini ibarat gelombang pergolakan yang memiliki daya dobrak tinggi dari satu negara ke negara lain.
Hal itu dikemukakan Ketua DPP PDI Perjuangan bidang Hubungan Internasional, Andreas Hugo Pareira kepada Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Minggu, 30/1).
Dengan menggunakan 'frame analis' Samuel Huntington, lanjut Andreas, pergolakan yang terjadi di negara Arab itu itu ibaratnya gelombang demokrasi keempat setelah Perang Dunia II: dari Eropa Selatan, Amerika Latin, Asia Timur-Tenggara, sekarang ke Timur Tengah.
"Pemicunya adalah kelaliman rezim otoritarian, kemiskinan dan ketidakadilan," ujar Dosen Fisip Universitas Parahiyangan ini.
Menurut Andreas, gerakan perlawanan terhadap kekuasaan biasanya dipicu oleh krisis pangan, lemahnya daya beli masyarakat, kemiskinan, ketidakadilan dan kelicikan pemerintah yang berkuasa.
Melihat hal tersebut, menurutnya, bukan tidak mungkin pergolakan yang terjadi di Mesir dan Tunisia bisa terjadi di Indonesia.
"Indonesia penah mengalami pada akhir dekade 90-an dalam fase gelombang ketiga. Namun melihat proses reformasi yang amburadul, kepemimpinan nasional yang semakin kehilangan kepercayaan, tingginya angka kemiskinan, bukan tidak mungkin gelombang itu kembali ke Indonesia," tanda Andreas.
Hal itu dikemukakan Ketua DPP PDI Perjuangan bidang Hubungan Internasional, Andreas Hugo Pareira kepada Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Minggu, 30/1).
Dengan menggunakan 'frame analis' Samuel Huntington, lanjut Andreas, pergolakan yang terjadi di negara Arab itu itu ibaratnya gelombang demokrasi keempat setelah Perang Dunia II: dari Eropa Selatan, Amerika Latin, Asia Timur-Tenggara, sekarang ke Timur Tengah.
"Pemicunya adalah kelaliman rezim otoritarian, kemiskinan dan ketidakadilan," ujar Dosen Fisip Universitas Parahiyangan ini.
Menurut Andreas, gerakan perlawanan terhadap kekuasaan biasanya dipicu oleh krisis pangan, lemahnya daya beli masyarakat, kemiskinan, ketidakadilan dan kelicikan pemerintah yang berkuasa.
Melihat hal tersebut, menurutnya, bukan tidak mungkin pergolakan yang terjadi di Mesir dan Tunisia bisa terjadi di Indonesia.
"Indonesia penah mengalami pada akhir dekade 90-an dalam fase gelombang ketiga. Namun melihat proses reformasi yang amburadul, kepemimpinan nasional yang semakin kehilangan kepercayaan, tingginya angka kemiskinan, bukan tidak mungkin gelombang itu kembali ke Indonesia," tanda Andreas.
Amien Rais Berharap Pergolakan di Mesir Tak Menjalar ke Indonesia
RMOL. Tokoh reformasi, Amien Rais, menilai Mohamed ElBaradei merupakan sosok yang tiba-tiba muncul dalam pergolakan politik di Mesir belakangan ini.
Karena, selain tidak merakyat di kalangan masyarakat Mesir, mantan Kepala Badan Nuklir PBB, yang saat ini telah ditahan pihak keamanan Mesir itu juga tidak pernah bicara tentang konstruksi ekonomi Mesir selama ini.
"Sepertinya (ElBaradei) mengambil keuntungan di air yang sangat keruh ini," ujar Amien.
Untuk mengakhiri kriris politik yang terjadi di negara para nabi itu, Amien yang pernah sukses menggulingkan rezim Orde Baru ini berpendapat, lebih baik tokoh ulama, masyarakat dan militer bertemu dan membentuk satu sistem presidium pemerintahan untuk beberapa bulan ke depan.
"Siapa yang menonjol, dia yang akan memimpin," jelas Amien.
Namun Amien, yang berbicara pada talkshow di TVOne petang ini (Minggu, 30/1) mewanti-wanti agar krisis politik di Mesir, tidak terjadi di Indonesia. "Yang penting jangan sampai huru-hara yang terjadi di Yaman, Mesir, Tunisia merambah ke di Indonesia," harap Amien.
Karena, selain tidak merakyat di kalangan masyarakat Mesir, mantan Kepala Badan Nuklir PBB, yang saat ini telah ditahan pihak keamanan Mesir itu juga tidak pernah bicara tentang konstruksi ekonomi Mesir selama ini.
"Sepertinya (ElBaradei) mengambil keuntungan di air yang sangat keruh ini," ujar Amien.
Untuk mengakhiri kriris politik yang terjadi di negara para nabi itu, Amien yang pernah sukses menggulingkan rezim Orde Baru ini berpendapat, lebih baik tokoh ulama, masyarakat dan militer bertemu dan membentuk satu sistem presidium pemerintahan untuk beberapa bulan ke depan.
"Siapa yang menonjol, dia yang akan memimpin," jelas Amien.
Namun Amien, yang berbicara pada talkshow di TVOne petang ini (Minggu, 30/1) mewanti-wanti agar krisis politik di Mesir, tidak terjadi di Indonesia. "Yang penting jangan sampai huru-hara yang terjadi di Yaman, Mesir, Tunisia merambah ke di Indonesia," harap Amien.
Pergolakan Mesir Tak Akan Merembet ke RI
"Pasti tidak akan merembet. Karena Indonesia kondisinya sekarang tidak sama dengan di sana. Seharusnya ada dampak dari demokrasi di Indonesia ke Timur Tengah, bukan sebaliknya. Tapi sayangnya negara Timur Tengah tidak mau meniru Indonesia. Meski mayoritas muslim terbesar ada di sini," tandas Liddle kepada INILAH.COM, di Jakarta, Senin (31/1/2011).
Pakar Indonesianis ini menilai kekacauan di Tunisia dan Mesir saat ini hampir serupa dengan situasi Indonesia pada 1998 lalu ketika Soeharto dilengserkan secara paksa dari tampuk kekuasaan melalui gerakan reformasi.
"Kalau kita bandingkan dengan kondisi Indonesia pada 1998 ketika Soeharto jatuh dibandingkan dengan apa yang terjadi di Mesir dan Tunisia saat ini ada kesamaan, demonstrasi dari bawah, ada sejumlah elit yang memberontak, sehingga sulit mempertahankan kekuasaannya," terangnya.
Namun, ia tak melihat tanda-tanda kesamaan gejolak politik Indonesia belakangan ini dengan pergolakan politik di negeri-negeri Gurun Pasir tersebut. Karena demokrasi tumbuh relatif baik.
"Saya tidak mau menyamakan Indonesia sekarang dengan Tunisia dan Mesir. Indonesia dibandingkan dengan Tunisia tidak ada kesamaan. Indonesia sekarang sudah demokratis. Anda boleh saja berdebat soal demokrasi di Indonesia, tapi faktanya Indonesia sudah menjadi negara demokratis. Di sini, rakyat sudah memilih gubernur dan kepala daerah secara langsung. Tapi bahwa itu belum berjalan sebagaimana mestinya itu soal lain lagi," papar Liddle.
Sementara di Tunisia dan Mesir, tambah Lidle, demokrasi berjalan semu, karena rakyat tidak punya hak memilih dengan bebas. "Jadi jauh berbeda dengan Tunisia dan Mesir sekarang. Di sana tidak demokratis. Rakyat tidak punya hak, pemilu tidak bermakna. Kalau di sini lebih punya makna. Selain itu, tentara di Indonesia sekarang terkesan apolitis. Kesan saya begitu. Tentara di sini berperan sebagai tentara yang profesional, tidak lagi berpolitik," terangnya.
Pakar Indonesianis ini menilai kekacauan di Tunisia dan Mesir saat ini hampir serupa dengan situasi Indonesia pada 1998 lalu ketika Soeharto dilengserkan secara paksa dari tampuk kekuasaan melalui gerakan reformasi.
"Kalau kita bandingkan dengan kondisi Indonesia pada 1998 ketika Soeharto jatuh dibandingkan dengan apa yang terjadi di Mesir dan Tunisia saat ini ada kesamaan, demonstrasi dari bawah, ada sejumlah elit yang memberontak, sehingga sulit mempertahankan kekuasaannya," terangnya.
Namun, ia tak melihat tanda-tanda kesamaan gejolak politik Indonesia belakangan ini dengan pergolakan politik di negeri-negeri Gurun Pasir tersebut. Karena demokrasi tumbuh relatif baik.
"Saya tidak mau menyamakan Indonesia sekarang dengan Tunisia dan Mesir. Indonesia dibandingkan dengan Tunisia tidak ada kesamaan. Indonesia sekarang sudah demokratis. Anda boleh saja berdebat soal demokrasi di Indonesia, tapi faktanya Indonesia sudah menjadi negara demokratis. Di sini, rakyat sudah memilih gubernur dan kepala daerah secara langsung. Tapi bahwa itu belum berjalan sebagaimana mestinya itu soal lain lagi," papar Liddle.
Sementara di Tunisia dan Mesir, tambah Lidle, demokrasi berjalan semu, karena rakyat tidak punya hak memilih dengan bebas. "Jadi jauh berbeda dengan Tunisia dan Mesir sekarang. Di sana tidak demokratis. Rakyat tidak punya hak, pemilu tidak bermakna. Kalau di sini lebih punya makna. Selain itu, tentara di Indonesia sekarang terkesan apolitis. Kesan saya begitu. Tentara di sini berperan sebagai tentara yang profesional, tidak lagi berpolitik," terangnya.